Friday, October 5, 2012

BAKA!!! AISHITERU...

“GADUH DI KELAS, BERARTI TRAKTIR TEMAN SEKELAS”. Itulah yang tertulis di papan tulis yang baru saja dibaca oleh Firman, Randy dan Vanda ketika memasuki kelas. Jam pelajaran sejarah ternyata kosong dan diganti dengan belajar sendiri mengerjakan LKS.
“Gila! Tulisannya ngeri banget Sob! Ibarat senggol bacok gitu,” ucap Firman ke Vanda dengan pelan.
“Kayak anak SD aja sih pake ditulis kayak gitu”,lanjut Randy.
“Kayak elo nggak tau aja siapa ketua kelas kita,”jawab Vanda.
“Ehm”. Terdengar dehaman si ketua kelas yang dimaksud. Vanda kemudian menyenggol tangan Firman. Tapi, tidak cukup hanya dengan dehaman, kini ketua kelas melihat mereka dengan tajam untuk memberi peringatan pertama kepada mereka. Mereka bertiga pun segera duduk di kursi masing-masing.
Anastasya Dewi Putri Aditya. Itulah nama ketua kelas mereka. Ketua kelas mereka memang cewek, tapi jangan tercengang kalau melihat prestasi dan konstribusi dia untuk kelas. Dewi begitu dia biasa dipanggil sangat aktif bahkan mungkin cenderung ambisius. Meskipun begitu, sebenarnya terkadang Dewi masih bersifat kekanak-kanakan. Dia adalah teman sekolah Vanda dari jaman SD hingga kini sampai ke SMA. Mereka cukup dekat tapi karena kesibukan Dewi di sekolah mereka jadi tidak sering bisa bersama.
15 menit sebelum waktu istirahat...
Dewi tiba-tiba berjalan ke depan kelas dan mengahapus apa yang sudah ditulisnya. Kemudian dia berjalan ke bagian belakang kelas. Lebih tepatnya ke arah Vanda duduk. Dia duduk di kursi yang kosong karena ada teman sekelasnya yang absen. Kursi kosong itu tepat ada di depan tempat duduk Vanda.


“BRAKKK!” terdengar sedikit suara dari pertemuan antara kedua tangan Dewi dengan meja Vanda. Seisi kelas jadi terkejut dan perhatian mereka pun teralihkan ke Dewi. Diantara mereka yang paling terkejut adalah Vanda, Randy yang duduk di sebelah Vanda serta Firman yang duduk di sebelah kursi kosong yang kini sudah diduduki Dewi.
“Weitss...Ada apa ini? Mau nagih traktiran? Kan kita nggak buat gaduh tadi”,tanya Firman.
“Diam”, ucap Dewi tanpa melihat ke arah Firman karena pandangan mata Dewi tertuju ke Vanda.
Vanda kebingungan.
“Hari ini aku ingin memulai kebodohanku?”, ucap Dewi ke Vanda.
“Hah? Apa ya maksudnya?”, tanya Vanda dengan ekspresi bingung.
“Aku suka sama kamu”, ucap Dewi kemudian.
Suasana kelas menjadi sepi beberapa detik karena heran dengan apa yang sudah dilakukan ketua kelasnya itu. Tapi, kelas kemudian jadi rame dengan seruan teman sekelas mereka. “CIE...CIE....”.
Sementara itu sebagai target tembak, Vanda terkaget-kaget. Dia melihat ke arah kedua temannya, Firman dan Randy.
“Bisa gila gue mikirnya. Kenapa gue bisa suka sama elo! Gue nggak tau kenapa elo begitu menarik di mata gue”, lanjut Dewi.
Vanda yang tadi berekspresi bingung kini berubah jadi senyum-senyum sendiri. Meski sebenarnya dia masih belum bisa mengerti dengan keadaan yang terjadi. Kenapa teman kecilnya itu tiba-tiba bilang seperti itu.
“Gue mau elo tanggungjawab!”, kata Dewi.
Ekspresi Vanda mendadak beralih bingung lagi. Sangat terkejut dengan apa yang baru saja didengarnya dari Dewi. Sementara teman-teman sekelasnya yang cewek pada celingukan. Saling bertanya. Dan teman-teman sekelasnya yang cowok pada bertanya,”Elo apain dia Van?”. Ada juga yang bilang,“Kalau elo emang cowok tanggungjawab man!”. Firman dan Randy menatap Vanda untuk mencari konfirmasi.
“Gila aja! Gue nggak ngelakuin apa-apa. Suer deh!”, kata Vanda menjelaskan.
“Wi, elo ngomong apaan sih?ngelindur lo ya?” tanya Vanda ke Dewi.
Dewi diam. Dia menunduk tidak menjawab pertanyaan Vanda. Vanda jadi bingung karena Dewi berubah jadi diam.
“Okeh! Gue harus ngapain?”, kata Vanda memecah ketidakjelasan dan mengikuti permainan Dewi.
”Elo tau nggak gara-gara mikirin elo, konsentrasi belajar gue jadi keganggu. So, yang harus elo lakuin adalah karena elo yang udah memulai gue melakukan kebodohan karena gue suka sama elo dan tanpa gue ngerti sendiri apa alasannya, elo harus balikin rasionalitas gue. Ato elo sama-sama ikut dalam kebodohan yang bermula dari diri elo sendiri”
“Sumpah! Gue nggak paham sama apa yang elo omongin”
“Gini. Buat hidup gue, memulai cinta adalah memulai suatu kebodohan. Kalo elo jatuh cinta elo bakalan ngelakuin apa yang menurut akal sehat itu nggak rasional. Sama orang waras elo bakalan diteriakin “GILA”. Sebaliknya kalo sesama orang yang lagi jatuh cinta elo bakalan dimaklumi karena menurut mereka apa yang dilakukan adalah suatu kewajaran. So, jawaban kamu?”
“Okeh. Gue sedikit ngerti. Karena gue ngerasa udah cukup kenal sifat elo kayak gimana. Menurut gue, elo orangnya paling takut kelihatan bodoh, karena gue tau elo pinter karena elo belajar terus. Gue cuma pengen bilang aja kalau gitu... Dengan elo bilang terus terang ke gue kayak gini. Gue akuin elo berani banget meskipun gue tau elo tuh malu. Malu karena sesuatu. Tapi, yang perlu kamu tahu. Sekalipun sebenarnya kamu pemalu, jatuh cinta kepada orang  bukanlah sesuatu yang memalukan. Dan gue juga bingung gue bisa ngebantu elo apa nggak tapi yang jelas gue nggak bisa jalanin ini. Karena gue anggep elo belom siap buat pacaran sama gue. Walaupun elo bilang elo suka sama gue”
“What? Terus ini gimana?Pikiran gue yang isinya elo semua tuh ganggu banget!”
“Gue percaya elo suka sama gue tuh suka sesaat doang. Nanti juga pasti hilang-hilang sendiri. Elo bakalan balik jadi diri elo sendiri. Jadi diri elo yang sebelumnya. Elo bakalan tetep bisa fokus ke belajar elo”
“Emmm...Gitu ya. Gue pikir juga gitu sih. Oke deh lo gitu. Bakalan gue inget kata-kata elo hari ini”.
Dewi yang polos akhirnya menuruti perkataan Vanda. Bel istirahat pun berbunyi. Suasana kelas kembali netral. Dewi kembali duduk di tempat duduknya. Sementara Vanda ditemani Randy dan Firman pergi ke kantin.
“Gile mas bro lo. Ditembak sama cewek cuy...”, ucap Firman di tengah perjalanan mereka bertiga ke kantin.
“Diem lo. Gue masih shock!”, jawab Vanda.
“Eh Van..Tapi, apa Dewi itu selalu ngedengerin elo? Kata elo, dia temen elo dari SD”, tanya Randy.
“Nggak juga”
“Habis gue kira tadi Dewi bakalan merasa nggak puas sama jawaban elo dan bakalan masih ngotot minta elo macarin dia”, kata Randy.
“Iya bro. Untung banget. Sumpah deh gue bingung harus jawab apa kalau sampai tadi dia tanya lagi gimana kalau dia nggak bisa balik ke diri dia sendiri. Dan bisa fokus ke belajarnya dia lagi”, jawab Vanda.
“Tapi, sayang banget sih kalau elo ngelewatin cewek kayak Dewi. Udah smart, cantik, dari keluarga berkecukupan lagi. tapi meski kayak gitu dia tetep bisa hidup sederhana. Cuma sayangnya dia masih labil aja. Hahaha”, Ucap Firman.
“Iya sih...Tapi, ya udahlah”, Kata Vanda.

***
2 hari setelah kejadian di kelas...
Bel pulang sekolah sudah berbunyi. Kelas pun diakhiri. Tapi, tidak seperti biasanya murid-murid tidak menyambutnya dengan suka cita. Di luar hujan turun dan angin pun bertiup cukup kencang, seakan menghadang mereka yang berjiwa muda untuk cepat-cepat pulang.
“Haduh... malah hujan. Ntar malem nggak bisa malam mingguan deh...”, Keluh Firman menggoda temannya yang dari tadi ngelihatin hape terus karena sedang berkirim pesan dengan pacarnya.
“Tenang aja mas bro. Nih hujan kayaknya nggak bakalan lama kok. Ntar malem aman”, Sahut Randy sok tau.
30 menit kemudian...
Jumlah murid di kelas Vanda sudah cukup berkurang banyak. Mereka sudah memutuskan untuk pulang karena sudah agak reda. Termasuk Randy dan Firman.
“Belum mau pulang,Wi?”, Tanya Vanda ke Dewi yang sedang membersihkan papan tulis.
“Iya. Nanti”
“Wi...”
“Iya. Ada apa?”, Jawab Dewi dengan cuek.
“Ntar malem elo ada acara nggak?”
“Nggak”
“Okeh. Gue tunggu elo di tempat makan favorit elo yang nggak jauh dari rumah elo itu ya...Jam 7”, Ucap Vanda.
Dewi langsung berbalik arah begitu mendengar apa yang baru saja dikatakan Vanda. Dewi melihat Vanda dengan aneh. Sementara Vanda cuma bisa diam dan garuk-garuk kepalanya.
“Apa yang ini buat ngeralat jawaban elo kemaren?”, Tanya Dewi penasaran.
“Eh? Masih inget aja lo. Bukan-bukan. Ini yang kayak biasanya aja. Bukan dalam rangka khusus. Kita kan biasa makan disana semenjak kita SD dulu”, Jawab Vanda.
“Hmm...gue kira...”
“Masih inget aja lo. Hehehe. Ya udah ya... gue pulang dulu”
***
Sabtu malam...
Vanda melihat jam tangannya. Waktu menunjukkan pukul 7 lewat 5 menit. Dewi terlambat 5 menit. Tapi, Vanda tetap menunggunya dengan santai. Sambil memikirkan kejadian tadi siang dengan Dewi. Melupakan orang yang disukai memang nggak gampang. Vanda tidak menyangka Dewi masih berharap padanya.
“Woi....”, Ucap Dewi menepuk bahu Vanda dari belakang untuk mengejutkannya.
“Gila lo! Ngagetin gue aja”, Kesal Vanda.
“Sorry. Hehehe”
“Telat elo. Padahal ini dekat dari rumah elo”
“Sorri stoberi deh... Tadi gue ditelepon sama pengurus ekskul film. Hehehe. Biasa orang penting kan gue...”
“Ya udah. Pesen gih... gue traktir”
“Okeh Bos”
***
Makanan yang dipesan kini sudah habis dilahap oleh mereka berdua. Tidak seperti biasanya, hari ini Vanda memesan makanan yang sama dengan Dewi. Padahal dari SD dulu dia nggak pernah mau mencoba makanan yang menjadi favorit Dewi itu.
“Hari ini elo aneh. Kesambet setan apa lo?”, tanya Dewi.
“Kayak elo nggak pernah kayak gue aja”, balas Vanda.
“Apa-apaan elo nembak gue di depan temen-temen sekelas?”, ucap Vanda.
“Kata elo, gue bakalan bisa ngelupain elo. Karena ini perasaan yang cuma sesaat doang. Terus, kenapa sekarang elo ngungkit apa yang udah terjadi kemaren-kemaren? Dan sekarang gue tanya kenapa tiba-tiba elo kayak gini? Ganti model rambut kayak Tintin, itu kartun favorit gue. Terus, elo barusan juga pesen yang sama kayak gue”
“Haduhh...kok jadi gini. Maaf Wi... Malam ini gue ngajak elo makan bareng lagi bukan buat berantem kayak gini. Ada hal penting yang mau gue omongin ke elo”
“Apa? Jadi beneran elo mau ngeralat jawaban elo kemaren?”, kata Dewi mencoba menebak.
“Elo udah dewasa ya... Tapi, gue masih nggak yakin”, kata Vanda.
Dewi cemberut. Vanda masih menatap Dewi.
“Wi, aku mau pindah keluar kota”, ucap Vanda.
Suasana mendadak menjadi hening. Dewi sedikit shock. Dia menatap Vanda.
“Iya. Aku harus ikut ortu keluar kota. Keluargaku bakalan tinggal disana. Aku sih sebenernya masih pengen disini. Sekalian latihan hidup mandiri. Tapi, sama ortu nggak diizinin. Ya udah deh... sebagai anak yang berbakti aku harus nurutin apa kata mereka”, terang Vanda.
“Randy sama Firman udah kamu kasih tau?”, tanya Dewi.
“Belom. Kamu orang pertama yang aku kasih tau. Karena aku ngerasa kamu orang pertama yang harus aku kasih tau”
“Terus kapan pindahnya?”
“Dua minggu lagi”
“Hmm... Apa ini alasan kamu yang sebenarnya kenapa kamu nggak bisa nerima aku sebagai pacar kamu?Karena kalau kita jadian. Kita bakalan LDR-an”
“Haduh.. pikiran kamu masih kesana mulu ya”, kata Vanda.
“Iya. Sepertinya kata-katamu salah. Aku nggak bisa nggak mikirin kamu”
“Iya. Maaf aku salah. Maaf sudah bilang kayak gitu. Tapi, waktu kemaren aku bilang aku nggak bisa nerima kamu karena kamu masih kekanak-kanakan itu benar. Jadi bukan cuma karena kita bakalan LDR aja seandainya aku nerima kamu”, jelas Vanda.
“Apa kalau kita bertemu lagi dan aku sudah menjadi lebih dewasa dan tidak kekanak-kanakan apa kamu mau nerima aku?”
“Aku tidak tau. Biar waktu yang menjawabnya”
Dewi lalu izin untuk pergi ke kamar kecil sebentar.
“Duh. Gue udah bikin anak orang mewek nih”, Ucap Vanda yang melihat kepergian Dewi ke Toilet.
***
Seusai mengucapkan pamit ke sahabat kecilnya di restoran tadi, kini Vanda mengantarkan Dewi pulang. Mereka berdua berjalan kaki bersama. Tapi, di sepanjang jalan tidak ada obrolan di antara mereka. Beruntung kesunyian itu tidak berlangsung lama. Karena kini Dewi merasa kalau dia harus menjadi dirinya yang seperti biasanya, yang kekanak-kanakan kalau menurut Vanda.
“Karena elo disini cuma tinggal dua minggu aja. Gimana kalau kita kapan-kapan jalan-jalan ke taman hiburan. Kita maen banyak permainan disana?”, kata Dewi ke Vanda.
“Okeh”, Jawab Vanda dengan tersenyum.
“Tapi, ada satu syarat”, kata Dewi.
“Apa?”, tanya Vanda.
“Gue nggak mau elo tampil kayak gini. Nggak cocok tau! Ala-ala Tintin. Apa-apaan tuh?”, kata Dewi sambil mengacak-acak rambut Vanda yang pake jambul ala Tintin.
“Haduuuhh...”, kesal Vanda sambil membenarkan tatanan rambutnya kembali tapi kini dia membuat rambutnya menutupi dahinya.
“Nah. Kalo kayak gitu kan manis”, ucap Dewi.
“Elo juga manis”, ucap Vanda pelan.
“Apa?”, tanya Dewi pura-pura tidak mendengar karena dia ingin mendengarkannya sekali lagi.
“Nggak apa-apa...”
“Ah. Jangan boong lo! Tadi gue denger elo bilang manis...manis gitu deh kayaknya”, kata Dewi.
“Itu disana ada yang jual es teh manis”, kata Vanda memberi alasan sekenanya,tapi untung diseberang jalan memang ada yang jualan es teh manis.
Mereka pun melanjutkan perjalanan pulang dengan penuh canda dan tawa. Dua sahabat yang belum bisa terikat dalam cinta karena itulah pilihan yang terbaik dari mereka untuk saat ini.

Selesai.
Malam ini,
Jum’at, 21 September 2012
20:21

No comments:

Post a Comment