Saturday, January 14, 2017

Ngaji

Jujur kekhawatiran saya ketika lulus madrasah (sekolah sore) adalah saya jadi jauh dari agama. Saya lulus ketika saya SMP. Jadi, saya sekolah dua. Pagi sekolah formal di SMP Negeri dan siang mulai pukul 2 siang sampai 5 sore sekolah di madrasah. Sebenarnya, sebelum angkatan saya kelas di madrasah cuma ada 4 tingkatan. Cuma sampai kelas 4, entah kenapa pas angkatan saya jadi 6 kelas baru kemudian bisa lulus. Jadilah saya sampai SMP masih sekolah di madrasah. Itu juga kehadiran saya nggak begitu rajin, karena ada jadwal les di sekolah. Dari seminggu mungkin kadang cuma masuk 2 atau 3 hari. Saya mengejar ketertinggalan dengan cara membeli buku yang sama dengan yang digunakan guru saya. Selain itu juga tanya dengan teman-teman saya. Memang ada beberapa teman saya yang kemudian nggak melanjutkan sekolah madrasahnya sampai lulus karena sudah SMP. Tapi, saya tetap melanjutkan saja sampai lulus. Dan, Alhamdulillah lulus.
Selepas lulus dari madrasah saya jadi cuma mendapat pendidikan agama hanya dari sekolah formal. Jujur saya khawatir tentang ilmu mengaji saya. Waktu di madrasah saya mengaji dengan guru saya tapi setelah lulus saya jadi hanya sibuk dengan pendidikan formal saya saja. Jadi tiap kali ada kesempatan untuk mengaji di sekolahan, yang saya pikirkan adalah apakah saya masih bisa mengaji? Apa saya nggak lupa cara membaca Al Qur'an. Yang saya pikirkan ketika tadarusan bersama dengan teman-teman di bulan ramadhan di SMP adalah teman saya membaca Al Qur'an dengan lancar. Saya pikir dia rajin mengaji di rumah setiap hari. Sementara saya menyadari Alhamdulillah ternyata saya tetap bisa membaca Al Qur'an dengan baik meski nggak sebaik teman saya. Dan saya membacanya nggak terbata-bata. Alhamdulillah. Ketika tes agama buat kelulusan SMP pun Alhamdulillah saya mengaji di depan guru agama saya dengan penilaian 'not bad' lah.
Beralih ke SMA, ketika di kesempatan perkenalan ekstrakulikuler yang sifatnya keagamaan saya dites mengaji di depan kakak kelas yang merupakan anggota ekstrakulikuler itu. Ada juga sesi tanya jawab seputar tajwid, dan waktu itu saya salah menjawab tentang tajwid. Saya benar-benar lupa.
Puncaknya adalah beberapa bulan yang lalu. Dimana saya menangis terisak di atas sajadah. Saya banyak beristighfar, memohon ampun kepada Allah. Selama ini rasanya hanya fokus akademik saja dan bukan mendekatkan diri ke Allah. "Selama ini sudah khatam berapa kali?" pertanyaan renungan saya itu memukul telak saya. "Selama ini waktu saya sudah saya gunakan untuk apa saja?" Banyak baca buku tapi Al Qur'an jarang dibuka. Dan saya rasa bisa mengaji adalah salah satu nikmat Allah yang benar-benar wajib disyukuri. Rasanya sedih kalau nggak bisa mengaji. Saya bersyukur ketika saya kecil saya belajar mengaji. Terima kasih banyak guru-guru saya di madrasah. Terima kasih buat orang tua juga, saya sudah disekolahkan. Saya rasa orang tua yang anaknya nggak bisa mengaji rasanya akan sedih sekali. Sehari kemudian, kakak saya mengabari saya kalau adik sepupu kami wisuda dari pesantrennya dan sudah hafal Al Qur'an 30 juz. Alhamdulillah, saya ikut senang mendengarnya. Dan, saya jadi semakin termotivasi juga karena belakangan itu saya sedang sering membaca tulisan tentang seseorang yang cinta Al Qur'an dan juga menghafalkannya. 


14 November 2016

No comments:

Post a Comment