Jujur kekhawatiran saya ketika lulus
madrasah (sekolah sore) adalah saya jadi jauh dari agama. Saya lulus ketika
saya SMP. Jadi, saya sekolah dua. Pagi sekolah formal di SMP Negeri dan siang
mulai pukul 2 siang sampai 5 sore sekolah di madrasah. Sebenarnya, sebelum
angkatan saya kelas di madrasah cuma ada 4 tingkatan. Cuma sampai kelas 4,
entah kenapa pas angkatan saya jadi 6 kelas baru kemudian bisa lulus. Jadilah
saya sampai SMP masih sekolah di madrasah. Itu juga kehadiran saya nggak begitu
rajin, karena ada jadwal les di sekolah. Dari seminggu mungkin kadang cuma
masuk 2 atau 3 hari. Saya mengejar ketertinggalan dengan cara membeli buku yang
sama dengan yang digunakan guru saya. Selain itu juga tanya dengan teman-teman
saya. Memang ada beberapa teman saya yang kemudian nggak melanjutkan sekolah
madrasahnya sampai lulus karena sudah SMP. Tapi, saya tetap melanjutkan saja
sampai lulus. Dan, Alhamdulillah lulus.
Selepas lulus dari madrasah saya jadi
cuma mendapat pendidikan agama hanya dari sekolah formal. Jujur saya khawatir
tentang ilmu mengaji saya. Waktu di madrasah saya mengaji dengan guru saya tapi
setelah lulus saya jadi hanya sibuk dengan pendidikan formal saya saja. Jadi
tiap kali ada kesempatan untuk mengaji di sekolahan, yang saya pikirkan adalah
apakah saya masih bisa mengaji? Apa saya nggak lupa cara membaca Al Qur'an.
Yang saya pikirkan ketika tadarusan bersama dengan teman-teman di bulan
ramadhan di SMP adalah teman saya membaca Al Qur'an dengan lancar. Saya pikir
dia rajin mengaji di rumah setiap hari. Sementara saya menyadari Alhamdulillah
ternyata saya tetap bisa membaca Al Qur'an dengan baik meski nggak sebaik teman
saya. Dan saya membacanya nggak terbata-bata. Alhamdulillah. Ketika tes agama
buat kelulusan SMP pun Alhamdulillah saya mengaji di depan guru agama saya
dengan penilaian 'not bad' lah.
Beralih ke SMA, ketika di kesempatan
perkenalan ekstrakulikuler yang sifatnya keagamaan saya dites mengaji di depan
kakak kelas yang merupakan anggota ekstrakulikuler itu. Ada juga sesi tanya jawab
seputar tajwid, dan waktu itu saya salah menjawab tentang tajwid. Saya
benar-benar lupa.
Puncaknya adalah beberapa bulan yang
lalu. Dimana saya menangis terisak di atas sajadah. Saya banyak beristighfar,
memohon ampun kepada Allah. Selama ini rasanya hanya fokus akademik saja dan
bukan mendekatkan diri ke Allah. "Selama ini sudah khatam berapa
kali?" pertanyaan renungan saya itu memukul telak saya. "Selama ini
waktu saya sudah saya gunakan untuk apa saja?" Banyak baca buku tapi Al
Qur'an jarang dibuka. Dan saya rasa bisa mengaji adalah salah satu nikmat Allah
yang benar-benar wajib disyukuri. Rasanya sedih kalau nggak bisa mengaji. Saya
bersyukur ketika saya kecil saya belajar mengaji. Terima kasih banyak guru-guru
saya di madrasah. Terima kasih buat orang tua juga, saya sudah disekolahkan.
Saya rasa orang tua yang anaknya nggak bisa mengaji rasanya akan sedih sekali.
Sehari kemudian, kakak saya mengabari saya kalau adik sepupu kami wisuda dari
pesantrennya dan sudah hafal Al Qur'an 30 juz. Alhamdulillah, saya ikut senang
mendengarnya. Dan, saya jadi semakin termotivasi juga karena belakangan itu
saya sedang sering membaca tulisan tentang seseorang yang cinta Al Qur'an dan
juga menghafalkannya.
14 November 2016
No comments:
Post a Comment